masukkan script iklan disini
Keputusan Pemerintah Kabupaten Sumenep melalui Dinas Lingkungan Hidup (DLH) untuk mengganti tugu Kuda Terbang di Taman Bunga dengan tugu Keris patut dipersoalkan. Dalih menjaga identitas budaya justru terasa janggal ketika program ini mengorbankan simbol sejarah yang telah mengakar puluhan tahun lamanya.
Raperda Keris yang kini masih dibahas DPRD sebenarnya memiliki tujuan mulia: melindungi pengrajin, menjaga warisan, dan mengangkat martabat keris sebagai karya budaya. Namun, rancangan itu kini seolah dijadikan legitimasi untuk membongkar ikon kota: tugu Kuda Terbang. Ada kesan pemerintah daerah lebih sibuk memperjualbelikan identitas budaya daripada merawatnya secara arif.
Identitas Budaya Bukan Barang Dagangan
Kuda Terbang bukan sekadar patung di taman kota. Ia adalah representasi sejarah Keraton Sumenep, simbol kebesaran yang diabadikan sebagai bagian dari perjalanan panjang daerah ini. Menghapusnya lalu mengganti dengan keris berarti menghapus jejak identitas yang telah dijaga berpuluh tahun.
Dalam konteks pelestarian budaya, UNESCO sejak lama menekankan prinsip penting: identitas harus dijaga melalui keberlanjutan, bukan pergantian atau substitusi. Konvensi 2003 tentang Warisan Budaya Takbenda menegaskan pelestarian harus berangkat dari penghormatan terhadap tradisi yang hidup di masyarakat. Mengganti tugu lama dengan simbol baru justru melanggar prinsip kontinuitas itu.
UNESCO sendiri pada 25 November 2005 telah menetapkan keris sebagai Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity. Dalam dokumen resminya, UNESCO menegaskan keris bukan sekadar senjata, melainkan warisan yang sarat makna filosofis, simbol identitas, serta sarana spiritual. Dengan pengakuan ini, dunia mengakui keris sebagai warisan peradaban Nusantara. Tetapi pengakuan itu juga menuntut tanggung jawab: pelestarian harus dilakukan dengan memberdayakan perajin, menjaga tradisi, serta memastikan keris tidak direduksi menjadi sekadar proyek fisik atau ornamen birokratis.
Jika benar niatnya menjaga identitas, bukankah lebih tepat menambahkan tugu keris di lokasi lain tanpa mengorbankan simbol yang sudah mapan? Identitas budaya bersifat kolektif; ia tumbuh dari lapisan sejarah, bukan dari keputusan birokratis yang sepihak.
DLH Keluar Jalur
Lebih jauh, DLH Sumenep tampak keluar jalur dari tugas pokok dan fungsinya. Alih-alih fokus pada persoalan lingkungan—pengendalian pencemaran, pengelolaan sampah, limbah B3, atau penataan ruang hijau—instansi ini justru sibuk mengurusi estetika tugu. Padahal, kondisi Taman Bunga Sumenep sendiri sudah jauh dari ideal.
Alih-alih menjadi ruang publik yang ramah dan segar, Taman Bunga kini dipenuhi bangunan batu tak perlu. Estetika kota rusak, tata ruang berantakan. Bandingkan dengan Malang, misalnya, yang berhasil menjadikan alun-alun kota sebagai ruang hijau yang menyenangkan. Sumenep sebaliknya: taman yang seharusnya menjadi paru-paru kota berubah seperti terminal kumuh.
Apakah semua ini hanya proyek yang berkaitan dengan anggaran? Pertanyaan ini wajar diajukan, mengingat kecenderungan pembangunan fisik sering dijadikan ajang bisnis terselubung. Identitas budaya, dalam kasus ini keris, dijadikan justifikasi.
UMKM dan Tata Kota yang Semrawut
Kekacauan tata ruang juga terlihat dari penempatan UMKM di jalan protokol seperti Jalan Diponegoro. Alih-alih membangun pusat UMKM yang representatif, pemerintah justru menjejalkan pedagang di pinggir jalan. Arus lalu lintas terganggu, wajah kota tambah semrawut. Padahal data jumlah UMKM bisa dijadikan dasar untuk menata ruang usaha secara lebih modern.
Inilah masalah klasik yang terus berulang: kebijakan tambal sulam, tanpa visi tata kota yang jelas. Jika Bupati serius membangun ekonomi berbasis UMKM, ia mestinya belajar dari daerah lain yang berhasil membangun sentra usaha terpadu yang dekat pusat keramaian, bukan memindahkan masalah ke ruang publik.
Menjaga, Bukan Mengganti
Editorial ini ingin menegaskan: menjaga identitas budaya bukan berarti menghapus simbol lama lalu menggantinya dengan yang baru. Justru pelestarian harus dilakukan dengan menambah, melengkapi, dan memberi ruang bagi semua simbol yang merepresentasikan sejarah Sumenep.
Kuda Terbang adalah identitas Keraton Sumenep, sedangkan keris adalah identitas warisan leluhur yang diakui dunia oleh UNESCO. Mengapa harus dipertentangkan? Kedua simbol ini bisa hidup berdampingan, saling memperkuat identitas Sumenep sebagai daerah berbudaya.
Kebijakan mengganti tugu Kuda Terbang dengan tugu Keris menunjukkan kurangnya pemahaman pemerintah daerah terhadap konsep pelestarian budaya. Jika Bupati benar-benar orang berbudaya, ia mestinya paham bahwa simbol tidak boleh dipertarungkan. Identitas budaya bukan papan nama yang bisa diganti sesuka hati, melainkan warisan kolektif yang harus dijaga dengan penuh hormat.
Belajar dari Sejarah dan Referensi
Dalam sejarah kebudayaan Nusantara, banyak daerah yang mampu merawat identitas dengan arif. Yogyakarta tetap menjaga Tugu Pal Putih sebagai simbol kota sembari membangun ikon lain. Bali mempertahankan patung Dewi Danu di Danau Beratan sambil membangun monumen baru tanpa menghapus yang lama.
Prinsip yang sama mestinya berlaku di Sumenep. Jangan sampai demi kepentingan politik jangka pendek atau proyek anggaran, pemerintah mengorbankan simbol yang sudah menjadi bagian dari ingatan kolektif warga.
Masyarakat Sumenep berhak mempertanyakan orientasi Bupati. Apakah Taman Bunga hendak dijadikan lahan bisnis semata? Ataukah benar-benar menjadi ruang publik yang berfungsi menjaga identitas, memperindah kota, dan memberikan kenyamanan?
Saatnya Mengoreksi Arah
Kritik ini seharusnya tidak dipandang sebagai penolakan terhadap keris sebagai simbol budaya. Justru sebaliknya, keris adalah warisan yang wajib dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. Tetapi caranya bukan dengan mengorbankan Kuda Terbang.
Bupati Sumenep perlu memahami bahwa identitas budaya bersifat akumulatif. Kuda Terbang dan keris adalah dua lapisan identitas yang sama-sama penting. Menghapus salah satunya hanya akan memiskinkan simbol dan melemahkan akar budaya.
Sumenep dikenal sebagai kota keraton, kota warisan, dan kota berbudaya. Julukan itu tidak lahir dari klaim sepihak, melainkan dari warisan sejarah panjang yang dijaga turun-temurun. Mengacaukannya dengan kebijakan serampangan hanya akan memperlihatkan ketidakmampuan pemimpin daerah memahami akar budayanya sendiri.
Identitas budaya bukan untuk diperjualbelikan. Ia adalah harta kolektif yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan dengan penuh rasa hormat. Jika pemerintah daerah benar-benar ingin melestarikan budaya, mulailah dengan satu prinsip sederhana: menjaga, bukan menghapus.
DLH Keluar Jalur
Lebih jauh, DLH Sumenep tampak keluar jalur dari tugas pokok dan fungsinya. Alih-alih fokus pada persoalan lingkungan—pengendalian pencemaran, pengelolaan sampah, limbah B3, atau penataan ruang hijau—instansi ini justru sibuk mengurusi estetika tugu. Padahal, kondisi Taman Bunga Sumenep sendiri sudah jauh dari ideal.
Alih-alih menjadi ruang publik yang ramah dan segar, Taman Bunga kini dipenuhi bangunan batu tak perlu. Estetika kota rusak, tata ruang berantakan. Bandingkan dengan Malang, misalnya, yang berhasil menjadikan alun-alun kota sebagai ruang hijau yang menyenangkan. Sumenep sebaliknya: taman yang seharusnya menjadi paru-paru kota berubah seperti terminal kumuh.
Apakah semua ini hanya proyek yang berkaitan dengan anggaran? Pertanyaan ini wajar diajukan, mengingat kecenderungan pembangunan fisik sering dijadikan ajang bisnis terselubung. Identitas budaya, dalam kasus ini keris, dijadikan justifikasi.
UMKM dan Tata Kota yang Semrawut
Kekacauan tata ruang juga terlihat dari penempatan UMKM di jalan protokol seperti Jalan Diponegoro. Alih-alih membangun pusat UMKM yang representatif, pemerintah justru menjejalkan pedagang di pinggir jalan. Arus lalu lintas terganggu, wajah kota tambah semrawut. Padahal data jumlah UMKM bisa dijadikan dasar untuk menata ruang usaha secara lebih modern.
Inilah masalah klasik yang terus berulang: kebijakan tambal sulam, tanpa visi tata kota yang jelas. Jika Bupati serius membangun ekonomi berbasis UMKM, ia mestinya belajar dari daerah lain yang berhasil membangun sentra usaha terpadu yang dekat pusat keramaian, bukan memindahkan masalah ke ruang publik.
Menjaga, Bukan Mengganti
Editorial ini ingin menegaskan: menjaga identitas budaya bukan berarti menghapus simbol lama lalu menggantinya dengan yang baru. Justru pelestarian harus dilakukan dengan menambah, melengkapi, dan memberi ruang bagi semua simbol yang merepresentasikan sejarah Sumenep.
Kuda Terbang adalah identitas Keraton Sumenep, sedangkan keris adalah identitas warisan leluhur yang diakui dunia oleh UNESCO. Mengapa harus dipertentangkan? Kedua simbol ini bisa hidup berdampingan, saling memperkuat identitas Sumenep sebagai daerah berbudaya.
Kebijakan mengganti tugu Kuda Terbang dengan tugu Keris menunjukkan kurangnya pemahaman pemerintah daerah terhadap konsep pelestarian budaya. Jika Bupati benar-benar orang berbudaya, ia mestinya paham bahwa simbol tidak boleh dipertarungkan. Identitas budaya bukan papan nama yang bisa diganti sesuka hati, melainkan warisan kolektif yang harus dijaga dengan penuh hormat.
Belajar dari Sejarah dan Referensi
Dalam sejarah kebudayaan Nusantara, banyak daerah yang mampu merawat identitas dengan arif. Yogyakarta tetap menjaga Tugu Pal Putih sebagai simbol kota sembari membangun ikon lain. Bali mempertahankan patung Dewi Danu di Danau Beratan sambil membangun monumen baru tanpa menghapus yang lama.
Prinsip yang sama mestinya berlaku di Sumenep. Jangan sampai demi kepentingan politik jangka pendek atau proyek anggaran, pemerintah mengorbankan simbol yang sudah menjadi bagian dari ingatan kolektif warga.
Masyarakat Sumenep berhak mempertanyakan orientasi Bupati. Apakah Taman Bunga hendak dijadikan lahan bisnis semata? Ataukah benar-benar menjadi ruang publik yang berfungsi menjaga identitas, memperindah kota, dan memberikan kenyamanan?
Saatnya Mengoreksi Arah
Kritik ini seharusnya tidak dipandang sebagai penolakan terhadap keris sebagai simbol budaya. Justru sebaliknya, keris adalah warisan yang wajib dijaga, dilestarikan, dan dikembangkan. Tetapi caranya bukan dengan mengorbankan Kuda Terbang.
Bupati Sumenep perlu memahami bahwa identitas budaya bersifat akumulatif. Kuda Terbang dan keris adalah dua lapisan identitas yang sama-sama penting. Menghapus salah satunya hanya akan memiskinkan simbol dan melemahkan akar budaya.
Sumenep dikenal sebagai kota keraton, kota warisan, dan kota berbudaya. Julukan itu tidak lahir dari klaim sepihak, melainkan dari warisan sejarah panjang yang dijaga turun-temurun. Mengacaukannya dengan kebijakan serampangan hanya akan memperlihatkan ketidakmampuan pemimpin daerah memahami akar budayanya sendiri.
Identitas budaya bukan untuk diperjualbelikan. Ia adalah harta kolektif yang harus dijaga, dirawat, dan diwariskan dengan penuh rasa hormat. Jika pemerintah daerah benar-benar ingin melestarikan budaya, mulailah dengan satu prinsip sederhana: menjaga, bukan menghapus.
(*)


