masukkan script iklan disini
REPETISI.NET - “Orang kiri adalah mereka jang menghendaki perobahan kekuasaan kapitalis, imperialis jang ada sekarang. Kehendak untuk menjebarkan keadilan sosial adalah kiri...” tulis Soekarno dalam otobiografinya bersama Cindy Adams, 1966.
Kutipan itu kini terasa relevan ketika bicara soal Festival Batik Sumenep 2025. Sebuah perayaan yang seharusnya jadi ruang keadilan bagi pengrajin lokal, justru terkesan lebih menguntungkan pihak luar.
Festival Batik Sumenep saban tahun dipoles sebagai panggung prestisius. Namun, di balik gemerlap lampu dan sorotan kamera, para pengrajin batik lokal justru merasa jadi penonton di rumah sendiri. Mereka yang mestinya tampil sebagai bintang utama, tergeser oleh desainer luar yang dielu-elukan bak tamu agung.
Seorang pengrajin batik ternama di Sumenep, enggan disebut namanya, meluapkan kekecewaan. “Sangat disayangkan, event besar seperti ini hanya dinikmati oleh segelintir orang. Banyak pengrajin lokal hanya jadi penonton, padahal ini festival batik di tanah kami sendiri,” katanya, Sabtu (13/9/25).
Luka itu bukan sekali dua kali. Ia masih mengingat pahitnya festival pertama di Kalianget. Malam itu, ia didatangi penyelenggara yang meminta delapan lembar kain batik untuk kebutuhan acara. Ia hanya mampu menyediakan enam. Janji pun dilontarkan: kain batiknya akan dijahit dan dipakai model di panggung.
“Waktu itu saya dikasih tahu butuh delapan kain batik, saya hanya bisa kasih enam. Mereka bilang tidak masalah, malah dijanjikan batik saya akan dijahit dan dipakai untuk mendampingi model di panggung,” ujarnya.
Namun janji itu raib. Hingga kini, kain batiknya tak pernah kembali. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. “Saya telepon berkali-kali, tidak pernah dibalas. Batik saya hilang sampai sekarang,” katanya getir.
Ironisnya, festival yang diagung-agungkan sebagai penguatan batik Madura justru meninggalkan luka bagi pengrajin. Mereka tercecer di pinggir panggung, sementara pesta lampu sorot menampilkan desainer luar daerah.
Kini, Festival Batik Sumenep 2025 lebih sering jadi bahan obrolan satir di warung kopi. Bagi warga, acara itu tak lebih dari pesta kostum berbalut pencitraan. Alih-alih mengangkat martabat batik lokal, ia justru menyingkirkan akar budayanya sendiri.
Apakah ini festival batik atau sekadar panggung pencitraan? Pertanyaan itu menggema di Sumenep. Bung Karno dulu bicara soal keadilan sosial. Enam dekade kemudian, para pengrajin batik masih menanti jejak keadilan itu, meski batik mereka hilang ditelan gemerlap festival.
Apakah Bupati Sumenep peduli pada keadilan sosial, atau hanya peduli kepada orang-orang di sekitarnya yang bisanya cuma bicara soal keuntungan? Kita bisa baca pada jejak-jejak festival yang sudah terjadi sebelumnya, dan sebelumnya.
“Waktu itu saya dikasih tahu butuh delapan kain batik, saya hanya bisa kasih enam. Mereka bilang tidak masalah, malah dijanjikan batik saya akan dijahit dan dipakai untuk mendampingi model di panggung,” ujarnya.
Namun janji itu raib. Hingga kini, kain batiknya tak pernah kembali. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. “Saya telepon berkali-kali, tidak pernah dibalas. Batik saya hilang sampai sekarang,” katanya getir.
Ironisnya, festival yang diagung-agungkan sebagai penguatan batik Madura justru meninggalkan luka bagi pengrajin. Mereka tercecer di pinggir panggung, sementara pesta lampu sorot menampilkan desainer luar daerah.
Kini, Festival Batik Sumenep 2025 lebih sering jadi bahan obrolan satir di warung kopi. Bagi warga, acara itu tak lebih dari pesta kostum berbalut pencitraan. Alih-alih mengangkat martabat batik lokal, ia justru menyingkirkan akar budayanya sendiri.
Apakah ini festival batik atau sekadar panggung pencitraan? Pertanyaan itu menggema di Sumenep. Bung Karno dulu bicara soal keadilan sosial. Enam dekade kemudian, para pengrajin batik masih menanti jejak keadilan itu, meski batik mereka hilang ditelan gemerlap festival.
Apakah Bupati Sumenep peduli pada keadilan sosial, atau hanya peduli kepada orang-orang di sekitarnya yang bisanya cuma bicara soal keuntungan? Kita bisa baca pada jejak-jejak festival yang sudah terjadi sebelumnya, dan sebelumnya.
(*)


