masukkan script iklan disini
REPETISI.NET - Usulan Bupati Sumenep mengangkat sekitar 5.000 tenaga honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) paruh waktu patut dipuji, tapi tak semuanya menyatakan setuju. Bukan semata soal jumlah yang besar, melainkan karena di dalam daftar tersebut diduga ikut tercantum tenaga alih daya atau tenaga outsourcing, yang secara hukum tidak masuk kategori honorer.
Langkah ini menimbulkan tanda tanya publik. Apalagi tenaga alih daya, berdasarkan aturan, bekerja untuk perusahaan penyedia jasa, bukan langsung kepada pemerintah.
“Teman saya tenaga outsourcing kebersihan di kantor pemerintahan Sumenep. Anehnya, dia juga masuk usulan PPPK. Padahal outsourcing kan bukan honorer. Gajinya saja dibayar perusahaan, meski sumbernya dari APBD,” ujar salah seorang warga Sumenep .
Ia menilai pengusulan tenaga outsourcing sebagai PPPK rawan masuk kategori maladministrasi. Sebab, mereka bukan pegawai yang diangkat pemerintah, melainkan pihak ketiga.
“Honorer itu kan yang bekerja langsung kepada instansi, bukan lewat perusahaan,” tambah warga tersebut.
“Honorer itu kan yang bekerja langsung kepada instansi, bukan lewat perusahaan,” tambah warga tersebut.
Secara definisi, tenaga honorer adalah pekerja non-ASN yang dipekerjakan dan mendapatkan surat tugas langsung dari instansi pemerintah, tidak melalui pihak ketiga. Berbeda dengan tenaga outsourcing, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang kemudian diperbarui melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan aturan turunannya.
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan secara tegas menyebut pekerja outsourcing adalah karyawan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, bukan dari instansi pengguna. Upah, hak, dan perlindungan kerja menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia.
Dengan kata lain, status outsourcing sepenuhnya berada di bawah perusahaan alih daya. Instansi pemerintah hanya pengguna jasa. Maka, ketika tenaga outsourcing ikut diusulkan menjadi PPPK, publik mempertanyakan dasar hukumnya.
Salah satu pengamat kebijakan publik Sumenep menilai, memasukkan outsourcing dalam daftar usulan PPPK berpotensi maladministrasi. Hal ini bertentangan dengan mekanisme rekrutmen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Dalam Pasal 2 ayat (2) PP tersebut, dijelaskan bahwa PPPK hanya dapat diangkat dari pegawai yang memenuhi syarat dan bekerja langsung pada instansi pemerintah. Sementara outsourcing, sesuai skema hukumnya, tidak punya hubungan kerja langsung dengan pemerintah.
Pasal 66 UU Ketenagakerjaan secara tegas menyebut pekerja outsourcing adalah karyawan dari perusahaan penyedia jasa tenaga kerja, bukan dari instansi pengguna. Upah, hak, dan perlindungan kerja menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia.
Dengan kata lain, status outsourcing sepenuhnya berada di bawah perusahaan alih daya. Instansi pemerintah hanya pengguna jasa. Maka, ketika tenaga outsourcing ikut diusulkan menjadi PPPK, publik mempertanyakan dasar hukumnya.
Salah satu pengamat kebijakan publik Sumenep menilai, memasukkan outsourcing dalam daftar usulan PPPK berpotensi maladministrasi. Hal ini bertentangan dengan mekanisme rekrutmen yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Dalam Pasal 2 ayat (2) PP tersebut, dijelaskan bahwa PPPK hanya dapat diangkat dari pegawai yang memenuhi syarat dan bekerja langsung pada instansi pemerintah. Sementara outsourcing, sesuai skema hukumnya, tidak punya hubungan kerja langsung dengan pemerintah.
“Kalau benar outsourcing masuk usulan, maka ini bisa dianggap penyimpangan prosedur.
Pemerintah Kabupaten Sumenep harus mengevaluasi,” lanjut pengamat kebijakan publik tersebut.
Bagi sebagian masyarakat Sumenep, usulan 5.000 honorer menjadi PPPK membawa harapan baru. Status PPPK dianggap bisa memberikan kepastian kerja dan kesejahteraan. Selama ini banyak honorer yang gajinya jauh dari layak, bahkan ada yang di bawah standar upah minimum.
Bagi sebagian masyarakat Sumenep, usulan 5.000 honorer menjadi PPPK membawa harapan baru. Status PPPK dianggap bisa memberikan kepastian kerja dan kesejahteraan. Selama ini banyak honorer yang gajinya jauh dari layak, bahkan ada yang di bawah standar upah minimum.
Publik menekankan Pemerintah Kabupaten Sumenep daerah berhati-hati dalam mengusulkan formasi PPPK. Aturan main sudah jelas: honorer boleh, outsourcing tidak. Jika tetap dipaksakan, hal itu bisa berimplikasi hukum dan membuka celah protes.
Selain itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) juga diminta turun tangan untuk menilai usulan dari Kabupaten Sumenep. Pasalnya, beleid terbaru lewat Surat Edaran MenPAN-RB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 menegaskan penghapusan tenaga honorer pada 2023 harus diselesaikan dengan mekanisme pengangkatan PPPK atau dialihkan menjadi pekerja outsourcing.
Logikanya, tenaga outsourcing tidak bisa balik lagi ke jalur PPPK. Jalur mereka sudah jelas melalui perusahaan penyedia jasa.Selain itu, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) juga diminta turun tangan untuk menilai usulan dari Kabupaten Sumenep. Pasalnya, beleid terbaru lewat Surat Edaran MenPAN-RB Nomor B/185/M.SM.02.03/2022 menegaskan penghapusan tenaga honorer pada 2023 harus diselesaikan dengan mekanisme pengangkatan PPPK atau dialihkan menjadi pekerja outsourcing.
Mengusulkan honorer menjadi PPPK itu adalah etikad baik Bupati Sumenep dan itu patut dipuji, tetapi rambu-rambu tetap harus diperhatikan.
(*)