• Jelajahi

    Copyright © Repetisi Net
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Said Abdullah Pulang Kampung Atas Nama Empat Pilar Kebangsaan, Tapi Lupa pada Esensi Keadilan Sosial

    Repetisi
    Minggu, 07 September 2025, 09:00 WIB Last Updated 2025-09-07T02:00:08Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Said Abdullah Pulang Kampung Atas Nama Empat Pilar Kebangsaan, Tapi Lupa pada Esensi Keadilan Sosial


    Jauh-jauh Said Abdullah pulang kampung. Katanya, untuk sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan. Sungguh mulia terdengar. Tetapi apakah ia betul-betul memahami makna yang terkandung di dalamnya? Atau sekadar mengulang retorika yang sudah terlalu sering didengar publik?

    Empat Pilar Kebangsaan bukan istilah asing. Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, ya, itulah 
    Empat Pilar Kebangsaan . 

    Sabtu, 6 September 2025, di Hotel De Baghraf Sumenep, para pemuda dan mahasiswa disuguhi sosialisasi yang dipoles dengan pidato dan jargon kebangsaan dengan tema besar di atas. Dua narasumber, M. Salman Farid dan Moh. Nurul Hidayatullah, dihadirkan untuk memperkaya wacana.

    Salman Farid menekankan peran pemuda dalam sejarah bangsa. "Kemajuan suatu bangsa dimulai dari generasi mudanya. Mari kita junjung tinggi semangat kebangsaan," ujarnya berapi-api. Ia mengingatkan pentingnya menjaga kebhinekaan dan keutuhan bangsa.

    Sementara itu, Nurul Hidayatullah mengaitkan Empat Pilar dengan tradisi gotong royong. "Para pendiri bangsa mengambil makna dari adat dan kebudayaan kita, lalu merumuskan nilai-nilai itu menjadi Pancasila," jelasnya. Ia menegaskan bahwa nilai Pancasila tak lekang oleh waktu, tetap relevan delapan dekade setelah kemerdekaan.

    Sepintas, narasi mereka terdengar manis. Tetapi jika dikuliti lebih dalam, itu hanyalah pengulangan retorika lama. Kata-kata yang indah tetapi seringkali tak berbanding lurus dengan kenyataan politik.

    Mari kita uji dengan kaca pembesar kritis. Said Abdullah bukan orang baru. Dua periode menjabat sebagai Ketua Badan Anggaran DPR RI. Ia tahu persis bagaimana tunjangan perumahan anggota DPR diputuskan. Ia tahu betapa keputusan itu menyinggung rasa keadilan rakyat. Pertanyaannya: mengapa disetujui?

    Di titik inilah kontradiksi mencuat. Empat Pilar Kebangsaan diajarkan ke pemuda, tetapi para pejabat gagal memberi teladan. Apa artinya berbicara soal keadilan sosial bila kebijakan justru menjauhkan rakyat dari rasa adil itu sendiri?

    Mari menelusuri satu per satu sila Pancasila yang kerap dijadikan slogan.

    Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika seorang pejabat berketuhanan, ia seharusnya tunduk pada aturan main, nilai moral dan ajaran agama yang dianut. Bukan sekadar mengaku beriman lalu abai pada amanat rakyat. Menyetujui tunjangan perumahan di tengah penderitaan rakyat jelas bukan wujud dari sila pertama.

    Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Apakah adil memberikan fasilitas tambahan bagi wakil rakyat ketika banyak masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar? Di mana letak keberadaban jika keputusan politik justru menambah jurang sosial?

    Persatuan Indonesia. Persatuan hanya lahir dari keadilan. Ketika keadilan diabaikan, perpecahan mengintai. Kerusuhan yang merebak di berbagai daerah sering kali berakar dari rasa ketidakadilan. Bukankah para elite seharusnya memahami logika sederhana ini?

    Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Apakah benar perwakilan rakyat dijalankan dengan hikmat dan kebijaksanaan? Atau sekadar formalitas rapat paripurna yang berakhir dengan sorak-sorai dan tarian kemenangan?

    Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah puncak dari seluruh sila. Tapi bagaimana mungkin keadilan sosial terwujud bila proses politik lebih mengutamakan kepentingan elite?

    Said Abdullah, dengan segala pengalaman politiknya, seharusnya memahami bahwa Empat Pilar bukan sekadar materi ceramah. Pilar itu adalah kompas moral dalam setiap kebijakan. Tanpa kesadaran itu, sosialisasi hanya menjadi panggung pencitraan.

    Mari kembali pada pelajaran klasik. Dalam buku Seni Perang China karya Yanuardi G Soebiono, dituliskan bahwa Tai Gong pernah ditanya Raja Wan tentang bagaimana mencintai rakyat. Jawaban Tai Gong sederhana: 

    Perkayalah mereka, jangan merugikan mereka. Bantulah mereka untuk menghasilkan produk dan jasa, jangan menghancurkan mereka. Lindungilah hidup mereka, jangan membunuh mereka. Dana bantuan, jangan dikurangi. Berilah mereka kebahagiaan, jangan menciptakan penderitaan kepada mereka. Buatlah mereka bahagia, jangan menyebabkan mereka menjadi marah.

    Prinsip itu adalah fondasi kepemimpinan.

    Di titik ini, pertanyaan yang patut diajukan: apakah Said Abdullah sudah menjalankan pesan itu? Atau justru terjebak dalam logika kekuasaan yang jauh dari nilai kerakyatan?

    Pulang kampung mestinya bukan sekadar menggelar acara di hotel mewah, atau berlagak jadi hero  dan memberi petuah setelah huru-hara selesai. Pulang kampung adalah kembali menyentuh realitas. Menyusuri desa-desa di Sumenep, menyapa petani, nelayan, dan buruh yang hidup pas-pasan. 

    Dialog dengan rakyat lebih berharga ketimbang seminar dengan kursi empuk. Dari situlah pejabat bisa bertanya pada dirinya sendiri:  sudah saya berketuhanan? sudahkah saya benar-benar Pancasilais? Sudahkah keputusan saya berpihak pada rakyat? Atau justru saya melukai mereka yang memilih saya?

    Empat Pilar Kebangsaan tak membutuhkan pidato panjang. Ia hanya butuh keteladanan nyata. Dan teladan itu bukan dilihat dari seberapa sering kata "Pancasila" disebut, melainkan dari keberanian menolak kebijakan yang merugikan rakyat.

    (*)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini