masukkan script iklan disini
Sejarah kepemimpinan di Sumenep kini tercatat dengan noda. Tiga tahun terakhir bukanlah kisah pembangunan yang membanggakan, melainkan kegagalan yang nyata. Di balik jargon ekonomi kreatif dan promosi pariwisata, yang sesungguhnya terlihat hanyalah kepentingan lingkaran dekat Bupati Achmad Fauzi Wongsojudo—yang oleh publik dijuluki sebagai ternak bupati. Event Sumenep 2025 pun menjadi cermin betapa panggung seremonial lebih diutamakan ketimbang kesejahteraan masyarakat.
Badan Pusat Statistik sudah mengabadikan kegagalan tiga tahun masa kepemimpinan Fauzi Wongsojudo dengan angka. Pengangguran di Sumenep meningkat, tingkat kemiskinan menjadi yang tertinggi se-Madura, sementara pertumbuhan ekonomi tersendat. Kesempatan tiga tahun sebelumnya bukannya melahirkan perubahan, melainkan menghadirkan beban baru bagi rakyat. Alih-alih mendengar aspirasi, bupati lebih sibuk membangun panggung pencitraan dengan jalan sehat dan festival, seolah itu solusi dari segala persoalan.
Narasi bahwa festival UMKM bisa mendongkrak perekonomian hanyalah ilusi. Pelaku usaha kecil dipaksa percaya bahwa keberhasilan mereka hanya bergantung pada event pemerintah. Kenyataannya, dalam Event Sumenep 2025, UMKM hanya diberi tempat seadanya. Panggung megah, sorotan kamera, dan fasilitas justru disiapkan untuk bupati serta ternaknya. Sesudah acara selesai, UMKM kembali ke realitas: modal terbatas, pasar sempit, keuntungan tak seberapa. Sementara lingkaran dekat bupati pulang dengan kantong penuh, menikmati hasil lipat ganda dari setiap event.
Flashback sedikit ke belakang. Festival Srikaya Seumenep 2025, Festival Ketupat Sumenep 2025, Festival Batik Sumenep 2025, dan festival-festival lainnya, siapa yang untung? UMKM? Atau ternak bupati? Bupatilah yang tahu jawabannya.
Ironi ini semakin jelas ketika media siber memoonline.co.id (19/09/2025) menaikkan berita tentang ulah orang-orang kepercayaan bupati yang bertindak layaknya preman. Mereka turun ke lapangan dengan gaya intimidatif, menekan pengusaha maupun panitia kegiatan, seolah membawa mandat langsung dari bupati. Alih-alih membantu pembangunan, mereka justru memperburuk citra. Pertanyaan publik pun mengemuka: apakah Bupati Fauzi tidak tahu, ataukah sengaja membiarkan?
Jika bupati tahu, maka ia ikut menormalisasi perilaku premanisme. Jika tidak tahu, sama buruknya, karena itu berarti ia kehilangan kendali. Apa pun jawabannya, masyarakat Sumenep yang dirugikan. Mereka dipaksa melihat daerahnya berubah menjadi kandang politik, di mana ternak bupati bebas merajalela, sementara rakyat hanya menjadi penonton yang tak dianggap.
Editorial ini ingin menegaskan, Event Sumenep 2025 seharusnya menjadi momentum untuk membangkitkan ekonomi rakyat, bukan sekadar panggung untuk mengokohkan kepentingan segelintir orang. Evaluasi menyeluruh terhadap lingkaran dekat bupati adalah keharusan. Mengabaikan desakan publik hanya akan mempercepat runtuhnya legitimasi kepemimpinan. Kepercayaan rakyat bukanlah warisan, melainkan amanah yang harus dijaga setiap hari.
Rakyat Sumenep tidak butuh seremonial berulang. Mereka butuh kebijakan yang menghadirkan lapangan kerja nyata, harga kebutuhan yang stabil, dan dukungan konkret terhadap UMKM yang bisa bertahan dalam jangka panjang, bukan jangka pendek sekadar tiga hari festival. Jika kepemimpinan Fauzi terus berpola lama—mengutamakan ternaknya dalam setiap event—maka sejarah hanya akan mengingatnya sebagai bupati yang gagal mengemban janji perubahan.
Waktu untuk memperbaiki arah masih ada, dan seharusnya dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh Bupati Sumenep. Setiap hari yang dilewati tanpa langkah korektif hanya akan memperlebar jurang ketidakpercayaan.
Sumenep bukan milik sekelompok kecil, dan jangan jadikan Event Sumenep sebagai panggung pribadi dan para ternak. Pemimpin sejati adalah yang menempatkan rakyat di barisan terdepan, memberikan tempat yang benar-benar layak buat mereka, dan bukan menjadikan mereka dekorasi "peningkatan ekonomi UMKM" dalam festival politik.
Pepatah lama pun akan kembali terbukti: pemimpin yang mendahulukan keuntungan dan kepentingan pribadi serta hanya memelihara ternak politiknya akan hancur, dan namanya hanya akan tinggal sebagai catatan buruk dalam sejarah.
Ingat, yang mendudukkan Fauzi menjadi Bupati Sumenep bukanlah ternaknya, tapi 68% masyarakat Kabupaten Sumenep. Peringatan ini jelas: bila ia terus melupakan rakyat yang memberinya mandat, maka rakyat pula yang akan mencatatnya sebagai bupati yang gagal.
(*)