• Jelajahi

    Copyright © Repetisi Net
    Best Viral Premium Blogger Templates
    budaya membaca

    Iklan

    Madura Ethnic Carnival 2025 Sebenarnya Merawat Kekuasaan, atau Budaya?

    Repetisi
    Minggu, 21 September 2025, 09:29 WIB Last Updated 2025-09-21T02:29:37Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Madura Ethnic Carnival 2025 Sebenarnya Merawat Kekuasaan, atau Budaya?


    REPETISI.NET -  SUMENEP - Madura Ethnic Carnival (MEC) 2025 yang digelar di depan Labeng Mesem Keraton Sumenep, Sabtu malam (20/09), meninggalkan tanda tanya besar soal arah pelestarian budaya. 

    Dengan tema Topeng Dhalang, acara yang diikuti sekitar 100 peserta kostum lebih menyerupai panggung pencitraan politik Bupati Sumenep ketimbang ruang ekspresi budaya masyarakat.

    Rangkaian acara dibuka dengan sambutan-sambutan. Panggung kemudian diisi tarian bertema topeng yang narasinya memuja peran bupati sebagai figur perawat budaya. Penyematan mahkota kerajaan kepada Ketua Komunitas Jurnalis Sumenep (KJS) menambah kejanggalan. Simbol yang seharusnya lekat dengan tradisi malah dipakai tanpa kejelasan makna.

    Suasana semakin jauh dari akar budaya ketika musik DJ menggema, bahkan sebagian lagu yang dimainkan merupakan karya sang bupati sendiri. Pergelaran kostum bertema topeng dhalang akhirnya hanya menjadi latar dari pesta musik modern, yang kian mengaburkan pesan kebudayaan. Puncak acara ditutup dengan pengumuman pemenang kontes kostum.

    Padahal, topeng dhalang memiliki sejarah panjang dalam kebudayaan Madura. Seni ini berkembang sejak abad ke-18 sebagai media dakwah, kritik sosial, sekaligus hiburan rakyat. Tokoh dalang dalam pertunjukan topeng sering menyelipkan sindiran kepada penguasa, membangun kesadaran kolektif lewat simbol dan cerita. Peneliti seni seperti Sartono Kartodirdjo dalam Panggung Rakyat (1984) menekankan bahwa topeng tradisional bukan sekadar tontonan, melainkan refleksi nilai dan identitas komunitas.

    Edward Shils dalam Tradition (1981) menyebut merawat budaya berarti menjaga kesinambungan nilai yang lahir dari masyarakat, bukan menjadikannya alat propaganda. Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973) menegaskan bahwa simbol budaya harus ditafsirkan berdasarkan makna sosial, bukan kepentingan elit. Jika simbol hanya jadi properti kekuasaan, maka makna asli tradisi hilang di tengah gemerlap panggung.

    Kasus ini bukan kali pertama budaya lokal dipertontonkan dengan balutan politik. Banyak daerah menjadikan festival etnik sebagai panggung pencitraan pejabat. Namun, UNESCO dalam Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural Heritage (2003) menegaskan bahwa pelestarian budaya menuntut partisipasi masyarakat, bukan monopoli elite.

    Madura Ethnic Carnival seharusnya bisa menjadi ruang edukasi publik tentang seni topeng dhalang, salah satu simbol kearifan lokal Sumenep. Alih-alih menekankan eksotisme kostum dan panggung kekuasaan, acara semestinya menampilkan proses kreatif masyarakat dan mendekatkan generasi muda dengan akar tradisinya.

    MEC 2025 menunjukkan jurang antara klaim merawat budaya dan praktik yang sekadar menjadikannya ornamen politik. Pertanyaan yang tersisa: siapa sebenarnya yang dirawat, budaya atau kekuasaan?


    (*)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini