masukkan script iklan disini
REPETISI.NET - Orang kerap terkecoh. Banyak yang mengira gaya hidup elegan lahir dari tumpukan barang mewah. Sepatu puluhan juta, tas kulit impor, atau jam tangan yang nilainya setara cicilan rumah. Padahal, kenyataannya tidak sesederhana itu. Elegan bukan persoalan isi dompet, melainkan bagaimana seseorang membawa diri.
Dalam dunia sosial, penampilan memang kerap dijadikan tolok ukur. Namun, seperti yang dipaparkan sosiolog Prancis Pierre Bourdieu dalam Distinction, elegan tanpa mahal adalah konstruksi sosial. Orang bisa terlihat berkelas bukan karena label di bajunya, melainkan karena simbol, sikap, dan cara ia berinteraksi.
Dengan kata lain, elegan lebih dekat pada kesadaran diri, pengendalian sikap, dan etika sederhana dalam keseharian.
Kita bisa menemukan banyak contoh di sekitar. Ada orang yang hanya mengenakan kemeja polos, duduk dengan tenang, lalu berbicara seperlunya dengan kalimat terukur. Tanpa logo mengilap atau aksesori mencolok, sosok itu justru terlihat lebih elegan dibanding mereka yang sibuk pamer merek tapi abai pada tata krama. Sikap sederhana yang elegan jauh lebih menonjol ketimbang simbol mewah.
Budaya Jawa sejak lama sudah mengingatkan: ajining dhiri saka lathi. Harga diri seseorang tercermin dari ucapannya. Kata-kata sopan, tidak kasar, dan tidak berlebihan adalah wujud elegansi sejati yang tidak bisa dibeli.
Psikologi modern juga mendukung hal ini. Penelitian membuktikan, cara seseorang memberi perhatian, menjaga kontak mata, atau sekadar memberi ruang pada lawan bicara, lebih membekas di hati orang lain ketimbang sekadar pameran barang. Elegan, ternyata, bisa lahir dari sikap sederhana.
Ada dimensi lain yang sering terlupa: kemampuan menahan diri. Orang yang tidak tergesa menyela pembicaraan, yang mau mendengar sebelum menilai, biasanya memberi kesan berkelas. Sebaliknya, mereka yang sibuk menunjukkan diri justru sering tampak rapuh.
Gaya hidup elegan tanpa mahal singkatnya lahir dari penguasaan diri. Sepatu seharga belasan juta tidak menjamin apa-apa jika sikap yang muncul justru angkuh. Sebaliknya, ketenangan, tutur kata sopan, dan kerendahan hati bisa membuat orang segan—dan itu sama sekali tidak berbayar.
Masalahnya, berapa banyak dari kita yang lebih rajin berinvestasi pada barang ketimbang sikap? Barang bisa usang, tren bisa berganti, tapi sikap baik akan tinggal lama di ingatan orang lain. Itulah inti dari elegansi dalam kehidupan sehari-hari.
Psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Dian Pramudita, menyoroti hal ini. Menurutnya, ada kesalahpahaman yang diwariskan sejak kecil: barang mewah dianggap simbol status. Padahal, status sosial tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas pribadi.
Media sosial lalu memperparah ilusi itu. Influencer yang sibuk memamerkan tas mahal sering dianggap panutan, meski etika komunikasinya minim. Dalam jangka panjang, orang lebih menghargai keaslian sikap dibanding citra instan. Popularitas mungkin bisa dibeli, tapi elegansi sejati tidak.
Di era Instagram dan TikTok, obrolan tentang elegan jadi semakin relevan. Budaya pamer merajalela, ditambah rasa takut ketinggalan tren alias FOMO. Generasi muda sering merasa harus membeli barang terbaru agar dianggap keren.
Padahal, tren hidup sederhana tapi elegan justru lahir dari rasa cukup. Tidak perlu mengejar semua tren. Cukup sadar diri, tahu tata krama, dan sesekali menyelipkan humor agar hidup tidak terasa kaku. Itulah yang membuat seseorang tampak menarik.
Tren ini bahkan punya istilah baru di kalangan penulis gaya hidup: new chic. Yang keren sekarang bukan lagi mereka yang menumpuk barang mahal, melainkan mereka yang tenang, percaya diri dengan kesederhanaan, dan nyaman dengan dirinya sendiri.
Elegansi memang tidak bisa dipisahkan dari persepsi sosial. Tetapi satu hal pasti: ia tidak pernah berhenti pada angka di label harga. Gaya hidup elegan sederhana adalah cara menghadirkan diri, bukan sekadar simbol mewah.
Barang bisa lusuh, mode bisa mati, tapi sikap baik akan terus hidup dalam ingatan orang lain.
Pertanyaannya, apakah kita masih sibuk berburu logo, atau mulai belajar merawat laku?
(*)