• Jelajahi

    Copyright © Repetisi Net
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Andai Kadisdik Jadi Plt Sekda Sumenep, Apa yang Akan Terjadi?

    Repetisi
    Selasa, 26 Agustus 2025, 09:48 WIB Last Updated 2025-08-26T02:48:51Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini
    Andai Kadisdik Sumenep Jadi Plt Sekda, Apa yang Akan Terjadi?


    Bayangkan sebuah drama politik-birokrasi yang tak kalah seru dari sinetron prime time. Andai seorang kepala dinas yang jejak digitalnya terarsip di dunia maya dan kerap jadi sorotan publik, tiba-tiba dipromosikan menjadi pelaksana tugas sekretaris daerah. Pertanyaannya, apa jadinya bila Agus Dwi Saputra, yang penuh kontroversi, menduduki kursi panas Plt Sekda?

    Publik tentu masih ingat, jejak Agus di Dinas Pendidikan tidak pernah sepi dari sorotan. Baru sebelas hari menjabat pada Januari 2022, ia sudah didesak mundur. Alasannya sederhana tapi memalukan: tak bisa menjawab berapa jumlah sekolah dasar di Sumenep. Pertanyaan sepele yang seharusnya bisa dijawab dengan sekali lirik dokumen, justru menjadi bom waktu yang meledakkan kepercayaan publik. Aktivis mahasiswa dari PMII STKIP PGRI pun meradang, menilai pejabat baru itu minim pengalaman dan tak layak memimpin dunia pendidikan.

    Namun, politik selalu punya wajah ganda. Tak semua pihak ingin melihat kepala dinas anyar itu tumbang secepat kilat. Abdul Latif, politisi PPP yang duduk di DPRD Sumenep, kala itu menilai desakan mundur terlalu prematur. Menurutnya, wajar bila pejabat baru belum hafal detail teknis. Namanya juga baru duduk di kursi empuk, perlu waktu untuk beradaptasi. Tetapi argumen itu tak serta merta meredam kekecewaan publik. Yang tersisa justru tanda tanya: kalau urusan jumlah sekolah saja kelabakan, bagaimana dengan kebijakan pendidikan yang lebih kompleks?

    Setahun berselang, rapor merah pun menempel di kening Agus. Aktivis Dear Jatim menuding ada carut-marut dalam pengelolaan anggaran pendidikan bernilai ratusan miliar rupiah. Dari dana BOS yang tidak transparan, hibah peralatan TIK yang tidak jelas nasibnya, sampai pembangunan sekolah yang volumenya tidak sesuai standar. BPK bahkan mengamini temuan itu. Di tengah sorotan publik, Agus justru absen menemui demonstran, memilih alasan dinas luar kota. Hasilnya bisa ditebak: massa makin marah, ban terbakar, dan tuntutan mundur makin keras.

    Belum selesai urusan anggaran, badai baru datang pada 2024. Dalam panggung debat Pilkada Sumenep, calon bupati KH Ali Fikri menyindir ada kepala dinas yang tidak memenuhi kualifikasi sesuai Permendikbud 7/2017. Relawan politik kemudian buka kartu: yang dimaksud tak lain adalah Kepala Dinas Pendidikan, Agus Dwi Saputra. Rekam jejaknya di dunia pendidikan nihil. Sebelum jadi Kadisdik, ia lebih akrab dengan urusan industri dan perdagangan. Tak heran bila kemudian muncul sindiran, “pendidikan di Sumenep terjebak dalam industrialisasi.”

    Dan seakan itu belum cukup, Juli 2025 publik diguncang lagi. Dugaan korupsi dana Tunjangan Tambahan Penghasilan (Tamsil) guru P3K mengemuka. Media mengungkap adanya manipulasi data, guru yang namanya tercantum dalam daftar penerima ternyata tak pernah menerima uang sepeserpun. Agus kembali bungkam, telepon tak diangkat, pesan diabaikan. Bank penyalur sudah menegaskan bahwa data penerima sepenuhnya dari dinas pendidikan. Semua panah pun mengarah ke sang kepala dinas.

    Kini, bayangkan orang dengan rekam jejak penuh kontroversi itu ditunjuk menjadi Plt Sekda. Seorang pejabat yang seharusnya menjadi dirigen birokrasi, pengendali administrasi daerah, sekaligus penghubung antara bupati dan perangkat daerah. Apakah birokrasi Sumenep akan lebih lincah, atau justru makin sempoyongan?

    Andai Agus duduk di kursi Plt Sekda, publik bisa membayangkan dua skenario. Pertama, ia akan membawa pola lama ke level lebih tinggi: komunikasi publik yang minim, transparansi anggaran yang lemah, serta ketidakpastian kebijakan. Kalau di level dinas saja sudah muncul rapor merah, bagaimana bila seluruh perangkat daerah di bawah koordinasinya? Alih-alih menjadi jembatan, bisa jadi justru menambah jurang ketidakpercayaan masyarakat.

    Skenario kedua, yang lebih optimistis, mungkin Agus akan belajar dari badai kritik yang bertahun-tahun mengiringi kiprahnya. Kursi Plt Sekda bisa menjadi ruang pembuktian bahwa ia bisa berubah: lebih terbuka, lebih transparan, dan lebih siap mengendalikan birokrasi. Namun, harapan ini tampak terlalu idealis bila melihat catatan masa lalu.

    Editorial ini tentu tidak dimaksudkan sebagai vonis. Tetapi, publik berhak mempertanyakan, apakah kursi birokrasi tertinggi kedua setelah bupati pantas diisi oleh sosok dengan rapor merah? Apakah birokrasi Sumenep hendak dijadikan laboratorium uji coba untuk pejabat yang belum selesai dengan urusannya di sektor pendidikan?

    Kisah Agus adalah cermin bagaimana rekruitmen pejabat daerah sering kali lebih ditentukan oleh kepentingan politik ketimbang kualitas dan pengalaman. Aturan kualifikasi yang sudah jelas diabaikan. Kritik publik dianggap angin lalu. Dan akuntabilitas pejabat publik seolah barang mewah yang bisa ditunda-tunda.

    Andai Agus benar-benar ditunjuk sebagai Plt Sekda, maka yang akan terjadi bukan sekadar pergantian kursi. Ini akan menjadi ujian besar bagi kredibilitas bupati, integritas birokrasi, dan kepercayaan masyarakat. Pertanyaan publik sederhana: apakah Sumenep akan dipimpin birokrasi yang kuat dan berintegritas, atau justru tenggelam dalam pusaran krisis kepercayaan yang makin dalam?

    Yang jelas, sejarah sudah memberi catatan. Rapor merah tidak pernah bisa dihapus hanya dengan pena tanda tangan. Ia menempel, menjadi pengingat bahwa jabatan publik bukan sekadar soal kepercayaan politik, melainkan tanggung jawab moral kepada rakyat. Dan rakyat Sumenep, yang sudah lama resah dengan dunia pendidikan, tentu tidak ingin melihat drama lama dipentaskan kembali di panggung yang lebih besar.


    (*)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini