masukkan script iklan disini
Pemberitaan Radar Madura pada 3 Oktober 2025 tentang dugaan janji proyek pengadaan tablet bagi anggota DPRD Sumenep membuka tabir kecil dunia birokrasi daerah yang sering kali lebih dramatis dari panggung politik itu sendiri.
Ceritanya dimulai dari klaim seorang penyedia barang (konon berasal dari sidoarjo) yang mengaku telah dijanjikan proyek oleh pihak Sekretariat DPRD Sumenep. Dalam pengakuannya, ia telah mengeluarkan biaya hampir ratusan juta rupiah untuk menyediakan “Fasilitas Entertain” yang diminta pihak tertentu.
Kisah ini, jika benar adanya, bukan sekadar soal alat elektronik. Ia adalah refleksi dari bagaimana relasi kuasa dan kepentingan ekonomi bisa melebur dalam praktik pengadaan barang dan jasa di tingkat lokal. Ironisnya, proyek yang dipersoalkan nilainya tidak seberapa jika dibandingkan dengan proyek infrastruktur besar. Namun, nilai moral dan etik yang terseret jauh lebih mahal.
Pengadaan tablet bagi DPRD Sumenep sejatinya bertujuan baik. Secara teoritis, alat digital itu dapat membantu percepatan kinerja legislatif, mendukung paperless policy, dan meningkatkan efisiensi administrasi. Beberapa daerah di Indonesia sudah menerapkannya.
DPRD DKI Jakarta, misalnya, pada 2021 menganggarkan pengadaan tablet untuk efisiensi rapat daring dan pembacaan dokumen digital. Tujuannya jelas: mempercepat pembahasan kebijakan dan memotong biaya cetak ribuan halaman dokumen setiap tahun.
Namun, di Sumenep, niat itu justru berubah menjadi perdebatan publik. Jika benar penyedia sudah menghabiskan dana pribadi hingga ratusan juta hanya untuk “menjaga hubungan”, maka yang terjadi bukan efisiensi, melainkan distorsi. Dalam konteks tata kelola pemerintahan, praktik semacam itu bisa disebut gratifikasi terselubung.
Menurut Kementerian PAN-RB (2023), pengadaan barang dan jasa pemerintah wajib mengedepankan prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Sementara UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas menyebut pemberian fasilitas atau hiburan kepada pejabat publik yang berkaitan dengan jabatan dapat dikategorikan sebagai gratifikasi. Jika hal ini dibiarkan, maka budaya profesionalisme akan terus tergerus oleh tradisi “asal dekat asal dapat proyek.”
Di sisi lain, argumen efisiensi anggaran lewat penggunaan tablet juga perlu dikaji secara realistis. Misalnya, jika tiap anggota DPRD Sumenep berjumlah 50 orang, dan tiap tablet berkualitas tinggi seharga sekitar 12 - 17 juta, maka total anggaran bisa mencapai lebih dari Rp500 juta. Angka ini masih wajar jika digunakan untuk mendukung sistem kerja digital yang benar-benar diterapkan. Tapi apakah semua anggota DPRD akan memanfaatkan perangkat itu secara optimal? Apakah infrastruktur jaringan dan kompetensi SDM-nya sudah siap?
Penelitian oleh Sugiarto (2021) dalam Jurnal Manajemen dan Administrasi Publik menegaskan bahwa adopsi teknologi di lembaga legislatif daerah sering kali tidak diiringi kesiapan sumber daya manusia dan perubahan budaya kerja. Banyak perangkat akhirnya hanya menjadi pajangan, bukan alat produktivitas.
Persoalan berikutnya adalah efek kesehatan dan kenyamanan kerja. Mengandalkan tablet untuk membaca ratusan halaman dokumen pembahasan tentu menimbulkan kelelahan mata. Menurut World Health Organization (WHO, 2022), paparan layar digital secara terus-menerus dapat menyebabkan digital eye strain yang memengaruhi fokus dan konsentrasi kerja. Jika kondisi ini terjadi pada para legislator, efektivitas rapat justru bisa menurun.
Masalah ini semakin rumit ketika muncul bantahan dari pihak Sekretariat DPRD Sumenep. Sekretaris Dewan, Yanuar Yudha Bachtiar, membantah tudingan bahwa dirinya pernah menjanjikan proyek kepada penyedia atau meminta fasilitas entertain di luar kota. Ia menyebut pemberitaan itu mencoreng nama baiknya.
Dalam konteks hukum, kedua belah pihak memang memiliki hak yang sama: penyedia yang merasa dirugikan berhak bicara, sementara pejabat yang dituduh juga berhak membantah. Namun, tanggung jawab moral publik tidak berhenti di situ.
Berita yang sudah terlanjur beredar tidak bisa dihapus begitu saja. Opini publik sudah terbentuk. Karena itu, langkah paling bijak adalah membuka penyelidikan resmi. Inspektorat Kabupaten Sumenep perlu turun tangan memeriksa kebenaran klaim kedua pihak. Dalam banyak kasus serupa, ketidakjelasan seperti ini hanya berujung pada erosi kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah daerah.
Transparansi menjadi kata kunci. Pengadaan sekecil apa pun harus melalui proses yang bisa diawasi publik. Sesuai dengan Peraturan LKPP No. 12 Tahun 2021, sistem pengadaan pemerintah seharusnya dilakukan secara elektronik (e-procurement) agar menghindari tatap muka yang rawan konflik kepentingan. Jika mekanisme ini diterapkan dengan baik, cerita seperti penyedia yang “menyediakan hiburan” tak akan punya ruang untuk terjadi.
Lebih jauh lagi, kasus ini seharusnya menjadi momentum introspeksi bagi DPRD Sumenep dan lembaga pemerintah lainnya. Digitalisasi pemerintahan bukan hanya soal alat, tapi juga mentalitas. Pengadaan tablet tidak akan membawa perubahan apa pun jika pola pikir birokrasi masih terjebak pada budaya patronase dan transaksi.
Dalam sebuah penelitian berjudul Digital Transformation in Local Governance oleh Heeks (2020) dari University of Manchester, disebutkan bahwa keberhasilan transformasi digital di sektor publik sangat bergantung pada integritas dan kesiapan etis para pelakunya. Tanpa itu, teknologi hanya akan mempercantik wajah lama birokrasi yang tetap kusam.
Pada akhirnya, polemik pengadaan tablet DPRD Sumenep ini bukan soal teknologi, melainkan soal etika tata kelola. Ia menyoroti celah di mana niat baik bisa berubah menjadi bahan olok-olok publik ketika transparansi dan akuntabilitas diabaikan.
(*)


